“Ingat… masa muda adalah masa mereka untuk mencoba sesuatu, masa trial and error, banyak kecerobohan yang mungkin akan mereka lakukan tetapi kita sebagai pendamping atau orang tua harus berani memberikan kepercayaan kepada mereka dan berani mengampuni, agar mereka tetap mau belajar dari kesalahan dan kecerobohan yang ada selanjutnya memperbaiki diri.” Tegas Christophorus Tri Kuncoro Yekti, Pr moderator Komisi Kepemudaan Keuskupan Surabaya kepada Jubilium.
Keadaan orang muda sekarang memang sudah berubah, mengikuti perayaan ekaristi hari minggu mereka masih aktif, tetapi tidak aktif dipengurusan Dewan atau organisasi tertentu, mudika misalnya keadaan masih naik turun. “Orang Muda misa banyak, di kepengurusan dewan tidak aktif sementara di mudika sendiri sangat tergantung oleh dinamika mudika sendiri, kadang banyak yang terlibat kadang sedikit.” Ungkap Romo Cuncun. Sementara di paroki sangat tergantung dari keadaan paroki setempat. “Ada tidak ruang untuk aktifitas mudika? Orang tua mendorong dalam hal ini dewan. Ada tidak fasilitas untuk pengembangan diri mudika?” tanya beliau. Saat ini ada keluarga, televisi, kampus, sekolah dan tempat kerja. Acara televisi lebih menarik, tuntuta kerja menumpuk, tugas sekolah atau kampus berat, waktu banyak terserap kesitu. Belum lagi lingkungan dan kemajuan tekhnologi mendorong manusia khususnya kaum muda untuk semakin individualistis. “Tetapi kita patut bersyukur masih ada sedikit orang muda bisa lolos dari cengkraman kesibukan diri sendiri dan mau melayani di Gereja.” Ujar pastor yang ditahbiskan Tahun 2002 di Paroki Hati Kudus Yesus Surabaya.
Disamping acara-acara gereja yang monoton dan statis orang lebih memilih yang dinamis dan menarik. “Gereja perlu poles diri. Perlu belajar ilmu sekuler. Perlu ilmu managemen dan marketing supaya bisa lebih menarik. Hanya moment-nya yang belum ada. ” Kata Romo Cuncun sambil menyulut rokoknya. Menyikapi keadaan orang muda tidak terlepas dari gereja yang kurang menjadi lilin ditengah masyarakat, beliau berpendapat, mungkin ada kekeliruan gereja dalam membuat green design. "pernyataan itu memang tidak ada. Tetapi melihat bahwa keadaan gereja sekarang, apa lagi orang muda rasa-rasanya Gereja sudah tidak lagi signifikan secara internal dan tidak relevan secara eksternal. Gereja tidak begitu diperhitungkan." Gereja lambat mencermati perubahan yang melesat cepat dan tidak terduga. “gereja yang harus proaktif menjaring informasi dan belajar terus menerus untuk mengantisipasi perubahan yang cepat dan tipis, artinya tipis disini tidak bernilai, dangkal.” Urai pastor kelahiran Kertosono, Nganjuk.
“Ini tidak sepenuhnya salah orang muda tetapi sistem, gereja perlu analisa sosial dan spiral pastoral." Tegas beliau. Saat semua ini berjalan orang muda ada dalam perubahan zaman yang serba cepat itu. Peran pendamping kaum muda dan orang tua sangat diperlukan. “kita tidak boleh panik, zamannya memang begini, perlu kita sadari sebagai proses. Tugas kita yang pertama adalah belajar dan terus belajar, mendorong gereja untuk lebih signifikan, menggali kesadaran diri dan rendah hati. Yang kedua mendorong orang muda untuk terus belajar rendah hati dan kreatif menyikapi perubahan.” Pesannya. Beliau juga melihat ada kesan gereja itu berada dalam dunia yang berbeda. “problem exlesiologis, gereja adalah suatu badan yang punya dimensi duniawi dan dimensi ilahi. Keadaan saat ini gereja kurang mau rendah hati, kurang mendengarkan dan tidak mau belajar dan berbenah, agar terus menerus diperbaharui." Lanjut beliau.
Pendamping orang muda disini menjadi acuan, tetap percaya diri dan yakin bahwa Tuhan tidak mebiarkan kita berjalan sendiri. “Gereja jangan sebagai candu tetapi sebagai bahan bakar untuk terus mengobarkan api. Beragama berarti terjun. Berada bersama masyarakat dan menjadi berguna dalam masyarakat.” Ajaknya dengan semangat. “Para pendamping mulai belajar akan iman yang aktual bukan iman nostalgia, situasi sekarang sudah beda dengan zaman dahulu. Ingat… masa muda adalah masa trial and error, banyak kecerobohan yang mungkin akan mereka lakukan tetapi kita sebagai pendamping atau orang tua harus berani memberikan kepercayaan kepada mereka dan berani mengampuni, agar mereka tetap mau belajar dari kesalahan dan kecerobohan yang ada selanjutnya memperbaiki diri.” Lanjut Pastor kelahiran 20 Januari 1974.
Saat orang muda berani mencoba sesuatu yang positif, orang tua harus memberikan semangat dan saat dikala mereka mengalami kegagalan peran orang orang tua sebagai pendukung sangat diperlukan untuk kembali bangkit. “kisah hidup tidak berhenti di kegagalan, harus berani bangkit seperti Kristus sendiri yang tidak menyerah pada pekanya kubur tetapi bangkit” pesannya kepada orang tua. orang tua harus siap menghadapi situasi yang tidak terbayangkan akan terjadi pada orang muda. “Tingkat kegagalan orang muda seringkali mengejutkan orang tua, mereka harus tetap diajak untuk percaya diri punya kekuatan dan layak dicintai Tuhan. Ingat pembasuhan kaki Petrus, bukan formalitas tetapi ketulusan hati karena dia adalah manusia.” Ajak romo yang juga pastor pembantu di Paroki HKY. Faktor kebanggan orang tua terhadap anak juga menjadi pagar pembatas orang muda untuk aktif. “orang tua bangga kalau anaknya berhasil, disiplin dalam studi sementara tidak ditumbuhkan dalam diri, kesadaran mengenai apa yang baik untuk orang muda. Orang muda harus kritis dan kreatif.” Saran beliau.
Mengenai apa yang bisa dilakukan orang muda untuk orang muda khususnya dari Komisi Kepemudaan sendiri beliau mengatakan ada program untuk orang muda agar lebih diperhitungkan, hanya kita perlu analisa. Itu yang selama ini belum ada dalam tradisi kita. Program yang akan dibuat juga pasti tidak dapat mewakili kebutuhan semua orang muda itu sendiri. Untuk saat ini Komisi Kepemudaan konsen ke pengembangan jaringan dan kesadaran pentingnya nilai. Pembangunan karakter dan sikap itu yang diutamakan dari pada kompetensi orang perorangan itu sendiri. Komisi kepemudaan lebih membuka diri pada inisiatif melalui proses pendampingan sehingga apa yang dilakukan berdasar pada pengakuan akan nilai-nilai yang diperjuangkan. “Keterampilan jaringan dan nilai-nilai apa yang harus kita bela. Kerjasama, kedisiplinan dan tanggung jawab itu idealnya tetapi dalam proses kearah situ ada kegagalan kita harus berani hadapi itu, sembari belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.” Tuka pastor yang setelah ditahbiskan menjadi pastor pembantu di paroki Ngawi. “Peran pendamping sangat penting. Lebih cerdas dan belajar lebih banyak.” Lanjut beliau.
Tetapi untuk sekarang keberhasilan suatu program masih banyak dipengaruhi oleh seberapa orang yang terlibat. “Masih terpengaruh oleh kegiatan masal. Komkep mempertegas program jaringan dan penanaman nilai-nilai hidup. Untuk apa mengumpulkan banyak orang muda kalau nilainya tidak ada, lebih baik sedikit tetapi maksimal. Sesekali mungkin perlu tetepi tetap harus ada nilai apa yang akan kita dapatkan.” Kata beliau. “see, judge, and act. Kita dapat berorientasi pada hasil yang akan didapat, tetapi perjalanan menuju kesana jauh lebih penting dari sekedar hasil. Bagi panitia kesadaran akan nilai jauh lebih penting. Bagaimana mengolah aksi menjadi entertain yang kreatif dan berbasis nilai, dan ini yang kiranya didapatkan oleh peserta.” Lanjut pastor yang menjabat sebagai moderator Komisi Kepemudaan sejak tahun 2007 ini berharap. (marianus) tulisan ini juga dimuat di Buletin Yubilium Keuskupan Surabaya edisi Agustus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda disini.
Komentar yang tidak sesuai dengan isi topik pembicaraan dan yang berbau sara serta menyerang pihak lain akan dihapus. Saya akan mengunjungi anda kembali.... Terima kasih.