Mutiara Kata Hari Ini

Hari yang paling disia-siakan adalah hari saat kita tidak tertawaSebastian Roch Nicolas Chamfort.

13 Maret 2009

Ada “Gurun” di Kota kami

“Bagaimana kabarmu? Lama tidak menampakkan diri. Apa kamu di gurun?” tanya pastor parokiku Rm. Sapto, CM saat bertemu dihalaman gereja setelah misa pagi hari Minggu 1 Maret 2009.
“Iya mo.. saya digurun.” Jawabku tersenyum kecut.
Lalu aku pulang, mencuci pakaian sambil menonton siaran pertandingan tinju antara Chris Jon versus Rocky Juares. Seru tapi agak kecewa Chris Jon tidak menang dan tampil agak loyo.
Ada reminder di Hpku berbunyi kalau ada rapat dengan teman-teman SSV St. Yakobus, agak malas tapi akhirnya berangkat juga. Tepat jam 11.30 kami mulai rapat. Jujur perasaanku campur baur, saya lama sekali meninggalkan teman-temanku. Tapi aku harus kelihatan biasa. Aku dan Robert mensharingkan kisah penghilangan diri dari konferensi yang kami cintai ini. Satu hal yang membuat kami memiliki kerinduan untuk kembali adalah rasa. Rasa persaudaraan diatara kami, Cik Tien yang tenang setenang air di gelas, Ko Hendrik yang tidak kenal lelah dan komit sekali dengan tugasnya. Maria yang setia dengan bimbingan belajarnya, Linda yang aktif dengan jaring komunikasi antar konferensi, Robert yang rajin mengunjungi orang miskin dan saya sendiri pelengkap derita mereka. (jangan sampai ya...) Pertemuan berjalan dalam suasana yang akrab, dengan sedikit jajanan dan air putih dari kulkas kami.
“Mar... mau ikut?” tanya Maria kepadaku usai rapat.
“NAV. Kita karaoke. Ada voucher gratis” jawabnya.
Saya kalau yang gratis gini senang. Hehehe... dasar.. suka gratisan.
“Yuuuk...” jawabku.
Aku, Maria, ko Hendrik dan Linda akhirnya menuntaskan ngidam kami karaoke hingga jam 5 sore.
“Puas..!” kataku
“Ya iyalah... hasrat sudah tersalurkan” celetuk Maria dari kursi seberang.
Malamnya aku ditelepon Melky seorang perantau untuk menjeputnya. Aku lalu menyanggupi dan siap ke rumahnya. Dalam bayanganku tempat tinggal mereka tidak beda jauh dengan rumah-rumah yang sudah saya kunjungi. Menyusuri Rel Kereta Api Sulung. Kiri-kanan saya dipagari bilik-bilik kecil. Ambon, Flores, Timor, Madura, Jawa ada di sepanjang rel dengan bilik peneduh jika hujan. Melky juga kontrak di bilik sederhana bahkan sangat sederhana, Cuma 1,5x1,5 lengkap dengan peralatan dapur. Saya sendiri rasanya susah bernapas berada ditempat sekecil itu. Pembatasnya hanya dari tripleks usang dan lantainya dibuat dari papan rapuh di balut verlag tipis. Anaknya tertidur pulas dikasur kecil di pojok kamar.
“Arghh... Tuhan... pemandangan apa ini?” keluhku dalam hati. Suara degupan kaki bisa saja membangunkan anak ini dari mimpi indahnya, dari pulas tidurnya. Karena disini derap selangkah meramaikan semua penghuni rumah.
Aku tak sangggup berkata-kata, aku tidak sanggup melihat situasi ini. Ingin aku membangun sebuah rumah besar dan mereka semua tinggal bersamaku. Ingin aku menghibur mereka agar senyum terus tersungging dari bibir lara mereka. Ingin aku menjadi oase ditengah gurun, padang tandus kota ini. ingin aku menjadi lukisan indah ditengah potret buram kota ini. Ingin aku... bah... aku sendiri tak tahu. Tetapi aku. aku buka siapa-siapa. Hanya seorang pemimpi dengan berjuta angan membangunkan mereka yang lemah dari kubangan kemiskinan. Dari laranya hidup.
Aku pulang dengan segala renung di dada, bagaimana nasib mereka kalau digusur kemana ratusan bilik ini akan berlabuh kalau tanah ini di ambil alih PT. KAI? Kemana mereka akan berlari dari kejaran nasib? Kami di SSV hanya bisa mengunjungi mereka, membantu se kemampuan kami. Tetapi sebanyak ini? itu hanya mimpiku saat kereta malam memekikkan telinga dengan sirene panjangnya. Aku tidak menemukan jawaban apapun dari permenunganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda disini.
Komentar yang tidak sesuai dengan isi topik pembicaraan dan yang berbau sara serta menyerang pihak lain akan dihapus. Saya akan mengunjungi anda kembali.... Terima kasih.