Juni 1990. Kala itu, aku menghabiskan masa liburanku dirumah paman Nuel . Kegiatanku seperti anak kampung yang lainya, kesawah dan menemai buah hati pamanku yang sulung. Masa liburanku sungguh diisi dengan hal-hal yang menyenangkan.
Walaupun rumah pamanku tidak sebesar rumahku orang tuaku, tapi aku sangat senang oleh suasana kekeluargaan dalam rumah. Tanteku Sisi yang selalu saying dengan anaknya dan perhatian dengan keluarga. seolah aku tinggal bersama orang tuaku. Anak sulungnya yang sering saya panggil dengan nama Rol, - nama panjangnya Roland - yang lucu dan menggemaskan. Menambah betah aku disana. Hingga hari terakhir liburanku berat rasanya aku meninggalkan paman sekeluarga.
Aku akhirnya pulang kerumah orang tuaku setelah di jemput Kak Belas, kakak yang bagiku menjadi tempat belajar walaupun dia tidak melanjutkan sekolahnya ke SMP. Karena dia ingin membantu ayah dan bunda bertani. Suatu keputusan besar yang sangat dewasa, walapiun sebenarnya ayahku tidak merestui niatnya. Setelah dian bercerita kalau dia memutuskan tidak sekolah karena ingin lebih fokus membantu orang tua, mengingat kami adik-adiknya masih sangat membutuhkan bantuan apalgi orang tuaku hanya seorang petani yang menggantungkan hidupnya dari curahan air hujan.
Tiba dirumah aku dihadapkan pada pemandangan yang tidak mengenakkan. Nenek Rosa, namanya Dolorosa. Nenekku. Yang juga nenek dari ayahku mengalami luka serius. Bagian tulang keringnya bengkak dan seperti borok. Kakinya melepuh saat dia mengambil air untuk membuatkan secangkir teh untuk cucu kesayangannya Damian seminggu yang lalu.
Saya marah pada semua orang yang ada dirumah. Walaupun saya tahu kehadiran saya dirumah pasti juga tidak dapat banyak membantu.
Hari itu hari minggu, ayah masih berada di ladang menunggui panenan, pamanku juga ada disawah. Dirumah tinggal Ibu, kak Belas, Kak Thres, dan adik Sofi dan Dami, tepat tengah malam nenek mengalami sakratul maut, ia mau agar ayah dan pamanku segera dating.
Ditengah pekatnya malam, tidak ada yang dapat kami lakukan apalagi kami tinggal di dusun yang kanan kiri masih sangat sepi. Hingga dengan segala keberanianku memutuskan untuk memanggil ayah dengan menempuh perjalanan 4 kilometer dari rumah menyusuri hutan dan semak belukar.” Aku harus kuat” kataku dalam hati. “Engkau tidak sendiri, jangan takut” bisik suara lembut sekali tepat di telingaku saat aku dalam perjalanan. Aku melangkah dengan pasti dan berani. Membangunkan ayahku didangau ladang kami dan mengajaknya pulang.
“Nenek mau mati “ kataku polos. Ayah hanya mengangguk tenang. Saya dapat merasakan kepedihan di raut muka ayaku. Dia tidak dapat begitu saja melepas nenek yang sudah menghabiska tiga perempat usia hidupnya bersama ayah. Nenekku sudah berusia 91 tahun kala itu.
Tiba dirumah. Nenek masih sempat menitipkan pesan kepad ayah, bunda dan juga kami. Nenek sangat menyanyangi kami. Dan sepertinya dia akan baik-baik saja setelah itu. Kami akhirnya tidur setelah pukul 3 pagi.
Hari senin, hari pertama aku sekolah. Kak. Thres dan adiku Sofi sudah lebih dulu berangkat kesekolah sementara aku karena terlambat hendak berangkat kemudian. Setelah aku mengenakan serangam sekolahku aku hendak pamit kepada nenek yang tengah duduk bersandar di tempat tidurnya. “nek. Aku berangkat dulu ya.” Pamitku. Tapi nenek rupanya menahan dan berkata nanti saja. "Jalannya kan belum ramai." katanya.
Aku lalu duduk sambil merangkul tubuhnya yang ringkih di balut kulit yang keriput. Aku mencium tangan dan keningnya. Saat itu juga aku menteskan air mata. Air mata perpisahan antara aku dan nenekku. Air mata yang selalu mengingatkanku kan cinta nenek kepadaku. Air mata yang memisahkan aku dan nenekku. Nenekku mati dalam pelukanku. Hingga aku menulis ini aku tetap meneteskan air mata. Selamat jalan nenek Rosa. Mawar yang selalu memberikan keharuman didiriku.
Sedih ya Di tinggal orang yang kita cintai...
BalasHapusaku gak mau Di sisa hidup semua orang yang aku sayangi, aku ingin selalu memberikan Kenangan Terindah... Makasih...