Usiaku baru 14 tahun waktu itu. Aku duduk di kelas 2 SMP dan memutuskan tinggal di asarama setelah sebelumnya tinggal bersama orang tua dan menempuh perjalanan kesekolah sejauh 5 km. dan ditempatku perjalanan sejauh itu serasa dekat. Sudh biasa. Diasrama dengan sendirinya aku harus membiasakan diri dengan kehidupan bersama dan tidak semau gue. Orang tuaku sebenarnya tidak setuju dengan pilihanku. Alasanya mereka tidak dapat memantau hasil belajarku sementara saat aku tinggal dirumah saja nilai akademisku tidak memuaskan apalagi tinggal disarm yang sebenarnya juga tidak ada peraturan yan jelas kapan jam belajar dan istirahat. Asrama kami adalah tempat persinggahan bagi kami yang rumahnya jauh. Namanya asrama Putra SMPK Kejora Wangka, tentu ada asrama putrinya yang dikelolah lebih baik dan teratur dengan seorang ibu asrama. Sementara kami dibiarkan saja mengatur diri kami sendiri.
Perselisihan dan beda pendapat antara penghuni asrama sangat terasa. Yunior di perlakukan dengan semena-mena dan kami tidak berani melawan. Perkelahian dan isak tangis sering mewarnai ruangan kami yang hanya berukuran 10x10 dengan lima belasan penghuni. Aku waktu itu masih begitu taat dengan David kakak kelas yang hitam dan menyeramkan. Kekuatanku hanya kalau aku berada diluar sekolah dan asrama karena memilki beberapa teman sekolah dan anak kampong yang menjadi sahabatku. Maka kalau dia hendak memukul aku karena membantah dan tidak menuruti kemauannya aku mengancam balik untuk tidak boleh keluar dari lingkungan sekolah. Maka aku mnjadi orag yang paling aman diantara teman-teman sesame yunior. Mungkin orang banyak mengira yang ada kekerasan hanya ada di STPDN ataupun asrama para tentara atau polisi. Di asrama sekolah juga ada.
Sementara di ruangan kelas, aku adalah siswa yang tidak dapat dikatakan pandai tetapi selalu masuk 3 besar setelah dikelas satu aku terpental dari sepluh besar. Sekalipun suasana asramanya tidak mendukung untuk berprestasi tetapi disitulah aku belajar bagimana mandiri dan mengatur diriku sendiri. Tanpa aku diasrama aku mungkin orang yang selalu menggantungkann diriku pada orang tua atau kakak permpuanku sekalipun hanya mencuci serangamku.
Di asrama ini juga aku mengalami apa yang orang katakana jatuh cinta pada teman sekelasku yang juga kakak dari adik teman asramaku, Vianey. Namanya perempuan itu Yvon, penghuni asrama putri, murid pindahan dari sebuah sekolah negeri di ibukota kecamatan. Aku jatuh hati kepdanya karena dia sering menemui adiknya diasrama. Rasanya aku tidak bisa tidur sebelum aku melihatnya setiap sore datang menemui adiknya.
Asrama kami hanya dibatasi lapangan sepak bola, Tentu saya dapat melihat gerak-geriknya dari kejauhan. Aku mengenal baik orang tuannya sekalipun dia berbeda desa dengan saya. Sawah kami dekat sehingga saat liburan dan tiba musim menuai aku tetap bisa menemuinya atau sekedar memandangnya. Tidak lebih Karena saya tidak berani mengucapkan kata cinta padanya. Kami juga masih sangat kecil.
Memasuki liburan sekolah semangat belajarku terus bertambah seolah akut tidak mau kalah dengan dia. Dan memang aku selalu masuk rangking dan dia dibelakangku. Hingga sethun sudah kupendam rasa itu. Hingga suatu peristiwa terjadi di asrama. Sepulang dari doa Rosario (di tempatku doa Rosario mendapat tempat yang isimewa dihati umat karena banyak permohonan dikabulkan)dan saya secara khusus berdoa untuk keberhasilanku menempuh ujian akhir seklah. Wktu itu namanya EBTA.
Kembali ke Asrama putri. Pintu asrama mereka kedapatan sudah terbuka dan mereka takut. Asrama mereka sering terjadi kejadian yang aneh. Mereka segera berlari ke tempat asrama putra. Aku yang mnedengar histeris segera keluar dan membukakan pintu dan “Kedubrakghhhhhhh…..” aku tertabrak Yvon dan perasaanku campur baur. Aku tahu dia saat itu pasti tidak merasakan apa-apa, tapi aku jelas beda. Nano… sempat-sempatnya lagi...payah.!
Kami seisi asrama putra sepakat untuk ke asrama putri menemani malam yang menakutkan bagi mereka. Aku bersama Vianey tidur tepat disebelah Yvon yang masih merasa ketakutan. Ingin aku selalu dekat dengannya tetapi itulah aku, tidak pempunyai keberanian tinggi untuk mengatakan sesuatu. Hinga pagi menjelang menyalakan pelita dan belajar sambil sesekali melirik. Aku tidak dapat mengatakan apapun hingga perpisahan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda disini.
Komentar yang tidak sesuai dengan isi topik pembicaraan dan yang berbau sara serta menyerang pihak lain akan dihapus. Saya akan mengunjungi anda kembali.... Terima kasih.