Mutiara Kata Hari Ini

Hari yang paling disia-siakan adalah hari saat kita tidak tertawaSebastian Roch Nicolas Chamfort.

09 Maret 2009

Stigma... No More!

Anda mungkin sepakat denganku bahwa, anak jalanan sulit diatur, bahwa mereka itu jorok, bahwa mereka itu sangar, sering bertindak semena-mena dan lain sebagainya. Mungkin benar tetapi tidak untuk pengalamanku yang satu ini. Stigma yang sudah melekat erat dalam diriku seolah lepas tuntas saat aku mengalami langsung hidup dengan mereka.
Tanggal 3-5 Agustus 2003 di Malang. Kami dari mudika paroki Kelsapa; Aku, Aan, Wisnu, dan Febri mengikuti Pelatihan Sosial Vinsensius yang diadakan oleh para pastor CM (Conggregasi Misi)di Seminari Badut Malang. Bersama mereki kami bertemu banyak sekali sahabat-sahabat Vinsensian dari Surabaya, malang, Jakarta, Jogjakarta, Medan, dan Kalimantan.
Peserta yang datang dari berbagai daerah tentu belum saling kenal,kami diberi kesempatan untuk saling berkenalan dengan berbagai games yang mengakrabkan kami satu sama lain, bahkan mungkin karena bernafaskan vinsensian dalam 2 jam kami seperti sangat akrab oleh permainan keakraban yang ada. Rasa sungkan yang ada seolah pudar mneyatu dalam suasana khas kaum muda.
Keesokan harinya kami dilepas untuk mengalami kehidupan "orang-orang kecil" yang tersisihkan. Aku bersama Linda , Denny dan satu cewek lagi (lupa.. sorry ya) kebagaian tempat eksposure di Terminal Arjosari, tidak ada tugas yang diberikan. Kami hanya dipesan dalam renungan oleh Romo Gani Sukarsono, CM untuk menemukan Yesus dalam diri mereka-mereka yang "kecil".
Ada sedikit tanya mengganjall, menemukan Yesus dalam diri orang "kecil"? Apa memang Yesus lebih gampang ditemukan dalam diri mereka, ataukah Yesus memang akan agak sulit dtemukan dalam diri orang "besar"? Tapi mungkin bukan itu. Yang aku tangkap waktu itu hanya satu kesederhanaan orang kecil. itu. Pertanyaan selanjutnya kenapa mesti keterminal? Disitukan banyak pengamen, pencopet, dan tentu preman-preman yang dalam benakku dan teman seperjalananku ini bisa menjadi masalah apalagi aku membawa dua teman cewek keturunan. Tapi ya sudahlah. Bukankah kita harus tetap berpikir positif, sebagai koordinator rombongan tentu meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja.
Dengan pakian yang tidak mencolok kami tiba di Terminal. aku menceburkan diri dengan tukang sapu dan beberapa pedangan kaki lima disekitar terminal, lama menjadi “basah” dan merasuk dalam lokasi ini, mereka kelihatan akrab. ada yang sedang menyapu, menyemir sepatu. Teman-teman seolah larut dalam aktivitas mereka, ada yang duduk, bercerita dengan orang yang mereka temui sementara aku mendekati pedangan nasi bungkus.
"mau makan apa dek..? tanya ibu warung
"tidak bu." jawabku singkat.
Saya lalu hanya duduk di emperan warung sambil melihat beberapa tukang sampah memulung sampah dari pelataran parkir.
"masnya baru disini ya..?" tanya ukang sampah yang mengawasiku dari tadi.
"ya pak" jawabku.
"dari Ambon?" lanjut ibu pemilik warung
"bukan, saya dari Flores bu" jawabku
"Oooh Flores itu yang di Irian itu ya... ?" tanya ibu warung sok tahu.
“Mboten... ikuloh sing cedak Australia” sergah sang bapak leboh sok tahu.
"Ya..." jawabku sekananya.
Toh kalau aku jelaskan mungkin mereka juga tidak mengerti. Padahal dalam hati kecilku kenapa koq dia gak tahu Flores? Atau dia tidak tamat sekolah dasar atau tamat tapi tidak diajarkan Geografi atau peta buta yang seru banget waktu aku SD dulu. Atau Flores begitu kerdil kah?
Tapi sudahlah. Toh itu hanya mengakrabkan pertemuan kami saja sebelum dia mulai bercerita soal suka duka mereka dulu. Apa adanya. mungkin ia merasa dia dulu senasib dengan aku yang luntang-lantung saat itu. Aku bercerita kalau aku adalah orang yang hendak mencari paman yang sudah lama tiggal dimalang. Dan sudah tiga hari saya berada diterminal ini.
Hingga menjelang siang, ibu pemilik warung menghidangkan segelas kopi pahit. Pahit! Benar-benar pahit. Kayaknya dia lupa memasukan gula ataukah cermin mungkin akan sepahit nasibku kalau yang terjadi adalah aku benar-benar mengalami nasib menjadi homeless di tanah orang. Untung seribu untung walaupun aku perantau aku masih dapat diterima oleh orang lain.
Setelah dua jam diwarung tadi tentu saya tidak hanya bicara atau ngbrol dengan ibu pemilik warung tapi sesekali aku melayani tamu sebisaku dan mencucikan piring. Bagiku itu pengalaman berharga walaupun kecil. Berikutnya dengan alasan mau keliling-keliling, saya pamit dan bergabung dengan para pengamen bis kota.
Saya lalu duduk dibangku paling pojok... tidak lama aku didatangi seorang pengamen. Untuk mencairkan suasana saya lalu menwarkan sebatang rokok buatnya. Rokok itu sengaja aku beli karena aku sendiri tidak merokok.
"mau rokok mas.?" kataku
"oh terimakasih mas" dia lalu mengambil sebatang
"tapi maap mas korek saya tadi jatuh.." buru-buru aku minta maaf.
"Gak apa-apa" lanjutnya
"nDul..!! onok korek?" teriaknya pada seorang pengamen diseberang pagar pembatas.
"gawe opo?" Gundul balik bertanya
"yoo.. nyumet rokok cuk" jawab pengamen disampingku.
Sampai disini bayanganku akan tingkah pengamen disini tidak jauh beda dengan pendapat teman-teman seperjalananku. kasar, penampilan urak-urakan dan tak mau tahu sangat terlihat dan sikap terlihat saat mereka berkumpul.
Lama kami saling bertukar pengalaman, dia juga banyak bertanya kepadaku. Dengan penuh tipu muslihat aku katakan kalau aku sedang mencari pamanku dikota Malang. Ternyata dalam sikap urakan dan tak mau tahunya dia memilki rasa iba dan setia kawan yang tinggi. Dia menawarkan tempat untuk meninap di kamar kosnya yang reot. dia sendiri telah memiliki seorang istri dan seorang anak.... apakah ini jiwa solidaritas mereka kepada sesama yang malang? Tidak sampai disitu saat mereka medapakan sebungkus nasi, mereka tidak segan-segan menawarkan kepadaku bahkan dimakan bersama enam temannya bersama-sama. Dengan tangan telanjang mereka makan dari satu bungkusan nasi yang entah siapa yang memberi atau membeli. Aku ikut ambil bagian didalamnya. Menikmati nasi bungkus dengan tangan kucelku, dan mereka. Tidak kenyang tetapi aku sudah dikenyangkan oleh terbaliknya prasangka burukku kepada mereka. Aku mungkin tidak pernah tahu dan merasakan bahwa mereka juga manusia yang punya rasa persaudaraan yang tinggi, ingin diperhatian sama seperti aku. “Trims Gundul dan kawan-kawan.... “ kita tidak saling memperkenalkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda disini.
Komentar yang tidak sesuai dengan isi topik pembicaraan dan yang berbau sara serta menyerang pihak lain akan dihapus. Saya akan mengunjungi anda kembali.... Terima kasih.