Hidupku selalu mendapat hal-hal yang diluar dugaanku, dan saya menamai itu mukjizat. Dalam suatu perjalanan saya dari Tanjung Balai Karimun menuju pelabuhan tanjung Priok Jakarta dengan menumpang kapal laut. Saya bertemu dengan dua orang ibu berwajah oriental. Mereka membawa banyak sekali barang bawaan, tas, koper dan sebagian dus-dus yang dibungkus rapi. Naluri belas kasihku muncul sesaatb kami hendak menaiki kapal yang penuh dengan orang berebutan. Sementara saya hanya membawa satu tas ransel belelku, bersama satu kamera filem kesukaanku.
Ibu itu sangat kesusahan, dia rasanya tidak percaya pada bantuan yang ditawarkan oleh beberapa porter yang silih berganti menwarkan bantuan. Aku merasa perlu menawarkan jasaku demi melihat dan meringankan bebannya.
“Bu.. saya bawakan yang ini ya” sambil memegang dua kardus ukuran 20kg. “saya hendak ke Jakarta bu, kita bias bersama-sama, Ibu silahkan ikut saya naik dan yang satunya tinggal disini kalau ibu tidk percaya dengan saya.” Mereka bertatapan dan ada isyarat mereka setuju dengan dengan tawaranku. Dan ibu yang pertama lalu bersamaku naik sementara yang lainnya tinggal di dermaga karena saya akan kembali lagi untuk menjemputnya. Mereka sepertinya bukan orang biasa seperti saya.
Setelah mengantarkan barang bawaan ke tempat mereka aku lalu bergegas menuju dek teratas. Karena disana saya dapat dengan leluasa memandang laut lepas biru disana, memandang pantai indah membentang, memandang bukit indah permai. Aku bersyukur aku mendpatkan kesempatan untuk menikmati ciptaan dan anugerah Allah yang begitu indah. Walaupun aku sendiri sebenarnya bukan dalam misi perjalanan senang-senang tetapi perjalanan mencari hidup dan kehidupanku ntah samapai kapan.
Pagi berikutnya kami tiba di pelabuhan Tanjung Priok. Saya kembali ke kamar 204 menempati janji saya sehari sebelumnya, bahwa saya akan kembali membantunya saat turun. Aku tidak peduli bahwa mereka sudah mengontak keluarga untuk menjemput atau yang lain sebagainya. Aku tidak peduli atas reaksi mereka tidak senang dengan apa yang aku lakukan atau bahagia dengan yang aku buat. Yang pasti bagiku meringankan bawaan mereka. Titik.
Barang bawaan sudah saya turunkan dan kami harus berpisah. Saya bertemu dengan suami-suami mereka serta buah hatinya yang kira berumur 6 tahunan. Mereka kelihatan sangat harmonis, atau mungkin karena lama ditinggalkan tetapi aku bias menangkap dari sikap mereka dan pembicaraan mereka dalam mobil saat mengantarku menuju stasiun gambir.
“Bu saya sudah biasa seperti ini, tidak usah di antar, tidak usah repot-repot saya tahu angkutan yang menuju kesana” jawabku demi menampik tawaran dari suaminya yang ingin mengantarku ke Stasiun Gambir. “Tidak. Kami searah dengan perjalananmu” aku tidak sempat mengelak.
Aku memesan dan membeli tiket jurusan Surabaya jam 5 sore hari itu. Aku kaget saat dia membayar lunas kereta ekonomi yang kupesan. Nilainya memang tidak seberapa tetapi aku. Aku adalah orang yang tidak mau dikasihani.
Dia juga secara paksa memasukan satu amplop putih kedalam ransel belelku, saat kami duduk melihat monas dikejauhan menjulang. Mereka lalu berpamitan teapat pukul 4 sore itu sedang aku terkatung menunggu kereta senja.
Aku penasaran dengan amplop putih yang tadi mereka masukan ke tasku. Aku membukanya pelan, ada uang Rp. 850.000. nilai yang besar untuk seorang yang tidak melakukan apa-apa diperjalanan. Nilai dari kekagumanku akan kehidupan. Dan tulisan di amplop itu “Adik terimakasih untuk hidup yang kau ajarkan, untuk kekosongan yang engkau berikan” aku terdiam dan sepanjang perjalanan merenung arti tulisan itu dan tidak pernah kutemukan artinya. Hidup itu mukjizat setiap saat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda disini.
Komentar yang tidak sesuai dengan isi topik pembicaraan dan yang berbau sara serta menyerang pihak lain akan dihapus. Saya akan mengunjungi anda kembali.... Terima kasih.