Mutiara Kata Hari Ini

Hari yang paling disia-siakan adalah hari saat kita tidak tertawaSebastian Roch Nicolas Chamfort.

09 Februari 2009

Extraordinary Leadership – Habitus Baru Kepemimpinan Korporasi "Kepemimpinan Visioner"

Oleh : Lily Widjaja (*)

Apa itu sukses?
Baru-baru ini aku melempar suatu pertanyaan kepada seorang teman: sukses itu tujuan atau akibat? Secara spontan dia langsung menjawab: tujuan. Tapi ketika aku memandangya dengan penuh pikir, dia juga mulai berpikir, lalu menjawab: mestinya suskes itu akibat.
Dalam berbagai interview, sering aku ditanya definisi sukses. Dalam benak penanya jelas sukses dikaitkan dengan harta dan kuasa. Aku punya pandangan yang sangat berbeda. Pada hematku, sukses adalah ketika aku memberi yang terbaik dari diriku, melaksanakan tugas pekerjaanku dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab. Apapun hasilnya, itulah sukses! Jadi, aku telah sukses sejak aku menjadi murid yang sekolah dengan baik. Seorang ibu rumah tangga atau bapak rumah tangga yang mengurus rumah tangganya dan anak-anaknya dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab, itulah sukses. Tidak ada kaitan dengan posisi, jabatan, harta kekayaan, kekuasaan apapun. Sukses adalah ketika aku memberi yang terbaik dari diriku!

1. Membentuk Visi Pribadi dan Visi Organisasi

A. Visi Pribadi: nilai martabat luhur manusia
Sukses itu bukan tujuan tetapi sebuah akibat. Dalam tataran personal, mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing: mengapa perlu berubah? Apakah agar kita lebih kaya, lebih berkuasa, lebih bertahta? Sah-sah saja semua keinginan dan cita-cita itu. Namun aku mau menawarkan sebuah jawaban yang menurutku lebih permanent dan transcendent, yakni: kita berubah agar kita sejahtera jiwa raga, hidup bernilai dan bermakna sebagai manusia, selayak-layaknya makhluk yang utuh.

Menurut hemat saya, bisnis itu harus berorientasi nilai dan mengarah kepada perubahan yang transformative, suatu perubahan yang mengungkapkan dan meneguhkan hakikat martabat manusia itu sendiri di tengah-tengah dunianya. Semua kemajuan dan pencapaian yang bisa dibuat manusia di bidang apapun, termasuk dalam dunia bisnis, semuanya itu harus tetap dikritisi dalam terang nilai-nilai. Apa artinya suatu kemajuan kalau manusia direndahkan hanya sebagai hamba kemajuan itu sendiri? Apa artinya pencapaian tertinggi manusia, kalau manusia pada akhirnya dikendalikan dan mendapatkan dirinya sedang masuk dalam pusaran efek boomerang yang destruktif?
Nilai-nilai merupakan fundamen dan pegangan manusia untuk selalu hidup akrab dengan kesejatian dirinya dan hidup harmonis dengan alam sekitarnya (social maupun natural). Nilai-nilai akan menuntun manusia untuk senantiasa menjalani kehidupan, mengisinya dengan segala dinamika yang diperlukan, menuju kehidupan yang lebih baik dan berkualitas, suatu dunia baru yang terbentang luas dan layak untuk dihidupi. Bahasa agamanya: kembali ke hakikat luhur manusia sebagai fitrah Penciptanya, citra dan rupa Allah sendiri!!

(Visi pribadi yang mengasumsikan nilai dan keyakinan di atas, tentu saja sudah dan akan mempengaruhi saya dalam menjalani pekerjaan profesional di sejumlah korporat dan organisasi bisnis lainnya)

B. Visi Organisasi: habitus profit/beyond profit/based on values
Suatu entitas bisnis didirikan sudah pasti dengan tujuan mencari untung, meningkatkan nilai bagi pemegang saham. Management perusahaan bertugas dan bertanggung jawab untuk membawa perseroan tumbuh dan berkembang sebagai suatu going-concern yang sukses. Ukuran yang mudah adalah nilai buku atau net asset yang meningkat. Dengan kata lain, sudah kodratnya suatu entitas bisnis yang bukan yayasan sosial mencari untung. Tidak ada yang salah dengan itu.
Tapi pertanyaannya adalah: apa visi misi dari suatu bisnis yang sustainable di masa depan? Apakah sekedar mencari untung dengan segala cara kalau perlu yang tidak etis, atau mencari untung secara jujur dan adil? Tentu saja yang seharusnya adalah bisnis mencari untung dengan cara yang benar. Sementara ini, bisnis dan kejujuran dipersepsikan sebagai dua kutub yang berlawanan dan tidak mungkin dipertemukan. Benarkah itu?
Kita bisa mengubah mentalitas dan keyakinan yang cenderung dikotomis tersebut. Saya mengistilahkan habitus profit untuk suatu sikap dan prilaku bisnis yang jujur dan adil. Karena, sesungguhnya bisnis dan kejujuran, profit dan integritas, merupakan realitas yang tidak seharusnya saling dipertentangkan, tetapi bisa dan hendaknya dipersandingkan. Kuncinya adalah mencintai bisnis sebagai lahan pekerjaan yang sah dan perlu, dengan kesadaran bahwa berbisnis punya nilai dan makna sejauh sebagai sarana. Tetapi bukan sembarang sarana, melainkan sarana positif dan sesuai kehendak Allah. Melalui sarana inipun karyawan atau pebisnis adalah subyek yang dipanggil menjadi collaborator atau co-Creator Sang Pencipta.
Mencintai bisnis mengandaikan sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi profesionalitas dan integritas moral dari para pelaku bisnis itu sendiri.Apa gunanya mendapat untung kalau harkat martabat manusia diinjak-injak, atau dalam proses mendapat keuntungan itu kita harus mencelakakan sesama?
Jadi, perubahan yang hendak dicapai bukanlah sekedar perubahan yang menghasilkan kemajuan asset material dan citra positif perusahaan. Apa yang dicapai oleh Organisasi atau Perusahan itu sesungguhnya tidak sekedar menyentuh aspek material, yang memang wajar dan perlu. Tapi, dalam perspektif berbisnis dengan basis nilai, pencapaian itu tidak lain merupakan hasil dan peneguhan atas terimplementasikannya nilai-nilai normative dalam proses produksi perusahaan. Dengan demikian perubahan yang dicapai adalah perubahan yang berbasis nilai-nilai.
Hemat saya, korporasi masa depan adalah korporasi yang berbasis nilai, yang menjunjung martabat luhur manusia. Bisnis perusahaan akan bersinergi dengan segala komponen institusi manusia di bumi yang satu dan sama ini: akan semakin mendekatkan nilai-nilai dan praktik menuju suatu perubahan yang transformative, yang menghasilkan dunia yang lebih aman dan sejahtera, lahir dan batin. Perhatikanlah semua konstitusi Negara bangsa, perhatikanlah ajaran-ajaran spiritual semua agama, Anda akan menemukan bahwa semuanya mengasumsikan (dasar, harapan, impian) sejumlah nilai yang universal sifatnya (melampaui batas-batas suku, agama, ras, dan golongan)!!! Karena itu habitus baru dalam segala cara pikir, merasa, dan bertindak di bidang apapun, termasuk bisnis dan kepemimpinan, senantiasa penting dan relevan.

C. Lebih lanjut dengan Bisnis Berbasis Nilai

Business Ethics sangat penting dan mendesak serta tetap relevan kapan dan di manapun. Aku bukan pakar dalam bidang business ethics. Tapi pengalamanku mengatakan bahwa penghayatan akan nilai-nilai yang benar secara otomatis akan membawa kita pada praktik bisnis yang etis.
Pengakuan atas pentingnya nilai-nilai dalam berbisnis sesungguhnya sudah menjadi kesadaran dan praktek global. Bisa dikatakan usaha berbisnis berbasis nilai sungguh mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat dunia. Contoh yang paling jelas adalah penerapan Good corporate governance oleh lembaga-lembaga formal maupun non-formal yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Pasti sudah pernah mendengar tentang GCG, atau Good Corporate Governance, atau tata kelola perusahaan yang baik. Dalam peraturan BEJ sudah ada ketentuan GCG untuk emiten yang mencatatkan sahamnya. Dalam draft revisi UUPM dimasukkan pula ketentuan GCG. Ada juga organisasi yang membuat benchmark dan positioning dari perusahaan-perusahaan dalam pelaksanaan GCG.
Semua itu bagus-bagus saja. Namun menurut aku, GCG perlu muncul dari internal diri kita, yang kemudian diterjemahkan dalam tindakan. Kalau tidak, pelaksanaan GCG hanya akan berhenti sebatas checklist pemenuhan normative formalitas.


2. Menterjemahkan Visi menjadi Tindakan

Kekuatan seorang pemimpin visioner terpusat pada suatu visi yang melaluinya para pengikut atau anggotanya berdaya dan bersemangat. Visi bukan tercipta dari suatu kekosongan, melainkan berakar pada sesuatu yang mendasar tentang kehidupan manusia, seperti: nilai-nilai, kepercayaan, makna dan impian tentang kodrat manusia, gambaran diri sebagai person dan sebagai professional, dll.
Pada tahap berikutnya sang pemimpin akan mengartikulasikan visi tersebut dengan cara-cara yang mendorong koleha-koleha mengambil bagian dalam visi itu; kemudian mengiluminasi kegiatan-kegiatan mereka yang biasa dengan signifikansi yang dramatical. Tahap iluminasi ini dilakukan dengan cara yang membawa orang pada suatu keyakinan bahwa visi itu layak dan bernilai, bukan dengan cara ‘selling’ layaknya sebuah barang belaka. Berikutnya, pemimpin masuk ke tahap menanamkan visi itu dalam struktur dan proses organisasi. Tujuannya supaya orang mengalami visi itu dalam berbagai pola aktivitas organisasi mereka sendiri. Untuk itu juga pemimpin dan kolega membuat keputusan hari demi hari dalam terang visi itu sendiri. Tujuannya supaya visi sungguh menjadi jantung dari budaya organisasi perusahaan. Dan kalau perlu, semua anggota organisasi punya waktu tertentu untuk merayakan visi itu dalam ritual upacara-upacara, annual reward, pagelaran seni atau bentuk-bentuk lainnya guna mengungkapkan sekaligus meneguhkan nilai, menguatkan dan menyemangati perjalanan mereka.

Pemimpin mengartikulasikan visi dalam pelbagai bentuk melalui rapat pertemuan, group assemblies, interaksi umum lainnya, dst. sehingga seluruh komunitas menjadi bagian dari visi itu. “Unless the vision becomes a communal vision, then the leader cannot in fact lead”. Until the vision permeates the policies, practices, relationships and programs operative in the organization nothing radically happens. When it does, “new traditions arise, new values become highlighted, a fabric of meaning that binds the community organically together begins to emerge”.


3. Pemimpin visioner yang bijaksana: kesimpulan


• the leader must be automatically human, knowing the essence of what it means to be human and giving living expression to that humanness.
• The leader must also be a real visionary whose vision is impregnated with a comprehensive knowledge ‘of the history, culture and issues facing the organization. The leader’s goal is to be an institution builder, one who calls for the inner strengths, values, feelings of others in identifying and finding meaning and significance for what they do together.
• the leader must have a thorough knowledge of the formal and informal structures and processes of the organization.
• A visionary leader should also learn from the other styles of leader in order to complement his style of leadership. With regard to this, Bishop John Heaps from the Australian Bishops Conference says: “Leadership contains the ability to inspire others, to fill them with enthusiasm and to give them an personal example to want to use their gifts with others for the good of all….True leadership has a quality of openness and quality of being able to create a climate of unity among people with diverse ideas, so that all will be heard. The true leader has the courage to take the decisions that have been made with reasonable consultation”.

4. Pater Jules Chevalier: vision-inspiration-embodiment-mission

I was so touched by the life an work of Jules Chevalier. I think he is a great example of a true visionary leader. I may share some of my reflections on Father Chevalier as a visionary leader. People may say that he a visionary leader for what he has done by founding congregations like the MSC and DOLSH (Daughter of Our Lady of the Sacred Heart). But for me Father Chevalier is more than a founder.
He is a visionary leader, whose vision becomes a congregational vision.
First: He had a very clear vision of God's Love for human beings regardless races, religions, color etc. This is a universal vision. That's why it's so popular in his time ... and I suppose it can be popular in nowadays if we want to promote it.... "Do you think so????" It depends on our scale of values, belief and commitment to do so ...
Second: In order to develop this vision to become other people's vision, he embodied this vision in a very practical way which he called: Devotion to the Sacred Heart. A devotion is now called "a way of the heart" - "spirituality of the Heart" - which focuses on the LOVE as a basic of human need. And I think many people were so convinced by this "embodied vision". But I hope that we do not forget that before embodying this vision, his vision became an inspiration for "the way of the heart" he had chosen. The vision became a driving force. Third: He needed people who have believed in this vision in their turn to spread this vision. That what we call "mission". The foundation of the MSC and DOLSH were meant to spread this vision through their ministries.These are very valuable heritage that we have inherited from Father Chevalier. So I agree with you that FATHER CHEVALIER IS REALLY A VISIONARY LEADER.
There were FOUR elements we could see from his life:
VISION - INSPIRATION - EMBODIMENT – MISSION.
If you have vision but the vision cannot become an inspiration....and then... you cannot become a visionary leader. And if you have vision and inspiration but if you cannot convince people by embodying your vision in a way of life...then...you cannot claim yourself as a visionary leader. Only when you get the vision to inspire people, embodying it in a concrete way of life, and you are able to convince other people by commitment of being faithful to your mission....and you can claim yourself or someone as a visionary leader.


* Sekarang menjabat sebagai Bendahara I Dewan Paroki St. Kristoforus Grogol, Jakarta. Sehari-hari sebagai praktisi pasar modal, menjabat sebagai Presiden Direktur PT Merrill Lynch Indonesia, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia, dan baru saja menyelesaikan dua periode sebagai Komisaris Bursa Efek Jakarta (sampai pada peralihannya menjadi Bursa Efek Indonesia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda disini.
Komentar yang tidak sesuai dengan isi topik pembicaraan dan yang berbau sara serta menyerang pihak lain akan dihapus. Saya akan mengunjungi anda kembali.... Terima kasih.