Waktu itu tanggal 7 Juli 1997. Pulang dari liburanku di Pulau Para Dewa, melalui perjalanan darat dan menyebrangi selat Sape yang terkenal dengan ombak ganasnya. Kali ini aku tidak kembali ke Flores sendirian, aku bersama satu rombongan mobil carry yang disopiri oleh Blasius seorang Pria kelahiran Bali keturunan Ende, Bli Sugeng Pria Nganjuk yang kami sewa untuk menjadi sopir cadangan. Blasius seorang pria berbadan tambun tetapi sayang dia memiliki cacat tubuh permanen. kakinya kecil sebelah mirip orang kena polio. Selain saya ada nenek saya, Sr. Marianan, OSF, adikku Sofia yang kebetulan libur sekolah dan kembali ke Flores serta tanteku.
Setelah menempuh perjalanan selama 2 hari 2 malam tibalah kami di pelabuhan Sape pukul 16.00 waktu setempat. kami lalu makan malam dan siap melanjutkan perjalanan tepat pukul 18.00. Didalam Feri saya tidak bergabung dengan nenek dan adik serta tanteku tetapi berkeliling dan bersama 2 sopir kami sembari bercerita dan mengenal mereka lebih jauh. Hingga aku kaget saat bunyi kapal seperti menabrak sesuatu dengan keras.
Sirene dibunyikan, penumpang hiruk pikuk mencari dan mengenakan pelampung seperti saran dari pengeras suara. saya yang berada di cafe buritan kapal bingung harus berbuat apa, bertiga berlarian tidak tentu arah. Suara permohonan dan teriakan histeris bersatu dalam doa dengan berbagai bahasa. Saya lalu memasuki tempat penumpang dimana Nenek dan Adik saya berada dan bingung dengan keadaan mereka. Nenekku yang seorang Suster berdoa sekusuknya adikku yang karena diombang-ambing kapal mabuk. tetapi syukurlah mereka sudahmengenakan pelampung. dan masih menyempatkan untuk mengambil 2 pelampung untuk kami. Dua? tidak kami ada tiga orang yang belum memiliki pelampung. walapun saya tahu apapun yang terjadi pelampung ini mungkin hanya membantu kami sedikit ditengah lautan pekat gelap seperti ini.
Saya lalu mengambil pelampung yang dua tadi dan memberikannya pada dua orang sopir kami. aku memutuskan untuk tidak memakai pelampung, sambil berharap sekoci kapal bisa mebyelamatkanku. Ditengah hiruk pikuk orang saya masih sempat tertawa kecut saat seorang ayah yang sedang menggendong anaknya dengan erat berkata "nak kamu akan tetap bersama ayah, ibumu bisa aku dapatkan kemabali tetapi engkau susah kudapatkan." sampai sekarang aku belum tahu apa maksud perkataan itu. hingga aku turun kegeladak kapal dan bergabung dengan masinis yang kelihatan begitu tenang dalam menghadapi peristiwa ini. Dengan suluh dari senter korek api saya melihat tepat dibawah sana ada batu karang tepat berada ditengah-tengah kapal feri. dan kapal seolah berada diatas timbangan, hidup atau mati.
Banyak anjuran agar membuang sebagian mobil dan bis yang ada dalam kapal itu kelaut. tetapi itu tidak dilakukan oleh kaptennya. aku baru tahu seandainya beban itu jadi dijatuhkan kelaut maka kami tidak akan dapat bertahan di atas batu karang itu. ombak laut akan menyeret kami dan aku tidak tahu dimana aku malam itu. terimakasih untuk kapten yang tetap tenang dan karang yang menyelamatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda disini.
Komentar yang tidak sesuai dengan isi topik pembicaraan dan yang berbau sara serta menyerang pihak lain akan dihapus. Saya akan mengunjungi anda kembali.... Terima kasih.